Kamis, 31 Maret 2011
Rabu, 30 Maret 2011
Musik Talempong Minang Makin Berkembang
Seorang peneliti dari Illinois, Urbana-Champaign, Amerika Serikat, Jennifer Fraser, B.A. (Hons) MA menilai, musik tradisional Minangkabau `talempong` di kampung-kampung tidak statis tetapi makin berkembang.
“Yang ingin mempertahankan status tardisionalnya justru kalangan akademis, eksekutif, budayawan dengan maksud untuk melanjutkan fantasi idealis sejarah Minangkabau,” kata Jennifer calon PhD University of Illinois, Urbana-Champaign, AS itu, di Padang, Selasa.
Berbicara dalam seminar internasional “Budaya Minangkabau dalam Era Multikultur dan Globalisasi” dengan rencana tesisnya berjudul “Tranformasi Talempong: Politik Kebudayaan dan Estetika,” ia mengatakan, talempong kampung tidak hanya eksis dalam gambaran sejarah, tetapi tetap eksis pada masa kini.
Talempong yang ditelitinya khusus talempong unggan dan talempong kampung. Talempong adalah alat musik tradisional Minangkabau ada yang terbuat dari kuningan dan ada pula dari kayu dan batu.
Talempong ini berbentuk bundar pada bagian bawahnya berlobang sedangkan pada bagian atasnya terdapat bundaran yang menonjol berdiameter lima sentimeter sebagai tempat tangga nada (berbeda-beda).
Musik talempong akan berbunyi jika dipukul oleh sepasang kayu.
Menurut dia, musik talempong kampung cenderung ditransformasikan oleh masyarakat sendiri dan kadang-kadang turut dipengaruhi pemerintah, bahkan melalui kaset-kaset lokal.
Sebaliknya kelahiran talempong kreasi, kata Jennifer, sama sekali tidak terkait dengan wacana globalisasi namun wacana modernisasi dan reformasi kebudayaan yang menuntut bentuk baru dengan unsur yang bisa dibedakan sebagai yang tradisional dan yang modern.
“Walau prosesnya bisa sama tetapi hasilnya lain dan penting dikaji dimensi perubahan yang terjadi pada tingkat lokal. Ironisnya, walaupun sangat mondern pada awalnya, namun demikian talempong kreasi tampil sangat kuat dan bergabung dengan baik dengan politik kebudayaan yang hegemonis sehingga sering dikenal dengan seni tradisional,” katanya.
Lebih jauh ia mengatakan, semenjak tahun 60-an, beberapa gaya talempong masih eksis hingga sekarang, baik talempong kampung dan talempong kreasi penampilannya masih ada tetapi untuk sebagian masyarakat masih berbeda.
Budaya, kata Jennifer adalah karena sebagai proses dari produk, maka perubahan selalu datang sementara manusia dan tradisinya selalu direposisikan menurut pengaruh baru. Namun menghentikan kenyataan ini sama artinya meniadakan budaya termasuk musik-musik yang dinamis.
“Lalu menyangkut revitalisasi jelas memberi kesan bahwa tradisi tersebut harus hidup dan baru dengan jiwa ke-Minangan yang hilang dalam prosesnya,” katanya.
Ia menambahkan, dengan pengakuan Indonesia adalah negara multikultur yang makin bertambah, seharus juga diakui perbedaan dalam suatu masyarakat.
Selasa, 29 Maret 2011
West Sumatra is also known as Minangkabau (land of the Minang people). Straddling the equator, Two-thirds of West Sumatra is covered in dense forest and thick jungle. This region’s inhabitants are believed to be the world’s largest matriarchal and matrilineal society.
Women own and inherit the family property; titles, clan names, and traditions are handed down along the mother’s line. Sunni Islam is the dominant faith, The have their own Philosophy is ” Culture base on Shari-ah, and Shari-ah base on Islam”
The Rumah Gadang Group brings together Minang musicians, dancers, singers, and actors from across the Washington DC region. Since their formation in 2007, it has performed for the Indonesian Embassy, the Dance Asian Festival, Richmond Folk Festival, community events, interfaith live music concert at National Cathedral, Smithsonian Freer Gallery, Arlington Performing Art and International Embassy in Washington DC Area.
Wirzam Tiharman is former choreographer and Lead musician from Syofiani Dance and Music ensemble has been spent his time for 3 years in Washington DC to establish The Rumah Gadang Group – USA. Since Wirzam went back to Indonesia, Hendri Julizardo take offer as music coordinator in Rumah Gadang Group.
Nani Afdal, the ensemble’s principal female vocalist is the daughter of traditional musicians and a winner of numerous prizes for her singing. Her husband, Rumah Gadang’s founder is Muhammad Afdal. He has been a performer of Minang traditional dance since his early 20s. He too is a former member of the ensemble Syofyani and a veteran of numerous international tours. Their son Aldo and daughter Alya Lawindo are following in the parent’s footsteps performing with Rumah Gadang.
The principle Minang instrument is the talempong, a set of small, round bronze gongs played with mallets. Others include the bansi (bamboo flute), the Gendang (one-sided drum) and Saluang (like the flute making from bamboo).
TRADISIONAL MUSIK TALEMPONG
Talempong adalah sebuah alat musik pukul khas suku bangsa Minangkabau. Bentuknya hampir sama dengan instrumen bonang dalam perangkat gamelan. Talempong dapat terbuat dari kuningan, namun ada pula yang terbuat dari kayu dan batu. Saat ini talempong dari jenis kuningan lebih banyak digunakan. Talempong ini berbentuk bundar pada bagian bawahnya berlobang sedangkan pada bagian atasnya terdapat bundaran yang menonjol berdiameter lima sentimeter sebagai tempat untuk dipukul. Talempong memiliki nada yang berbeda-beda. Bunyi dihasilkan dari sepasang kayu yang dipukulkan pada permukaannya.
Talempong biasanya digunakan untuk mengiringi tarian pertunjukan atau penyambutan, seperti Tari Piring yang khas, Tari Pasambahan, dan Tari Gelombang. Talempong juga digunakan untuk melantunkan musik menyambut tamu istimewa. Talempong ini memainkanya butuh kejelian dimulai dengan tangga pranada DO dan diakhiri dengan SI.[rujukan?] Talempong diiringi oleh akord yang cara memainkanya serupa dengan memainkan piano
Langganan:
Postingan (Atom)